Sekolah Buka Tapi Tak Wajib

Sembilan bulan sudah kita menghadapi wabah Pandemi COVID-19. Pandemi ini telah memaksa kita untuk beradaptasi agar terhindar dari virus corona. Memakai masker, mencuci tangan dengan sabun/hand sanitizer, dan menjaga jarak, perlahan-lahan telah menjadi kebiasaan baru agar kita dapat memutus mata rantai penyebaran virus. Walau tak mudah, perlahan-lahan hal itu telah menjadi kebiasaan baru di masa pandemi sekarang ini.

Tak hanya itu. Aktivitas yang menimbulkan kontak fisik dengan sesama manusia juga dihindari. Sehingga selama sembilan bulan ini, dan mungkin masih akan berjalan dalam beberapa waktu ke depan, aktivitas bekerja dari rumah, belajar dari rumah alias belajar daring, belanja online, semakin akrab dengan kehidupan manusia. Ada kejenuhan, tentu saja. Hal yang wajar dan alami. Karena hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang satu sama lain saling berhubungan secara langsung.

Dalam dunia pendidikan, pembelajaran jarak jauh alias belajar daring dari rumah, telah menimbulkan dampak positif dan negatif bagi kehidupan. Dampak positif itu antara lain telah melahirkan inovasi metode pembelajaran dengan menggunakan teknologi informasi. Dalam pandangan Mark Warschauer, ahli pembelajaran digital, pandemi memaksa terjadinya revolusi pola pembelajaran yang diprediksi bertahan lebih lama. Pandemi akan mempercepat peralihan sistem pendidikan konvensional, termasuk memasukkan lebih banyak elemen berbasis daring dalam aktivitas belajar-mengajar guru dan siswa.

Namun, di sisi lain, dampak negatif pembelajaran daring juga dirasakan oleh stakeholder dalam dunia pendidikan, mulai pendidik, anak didik, tenaga kependidikan, orang tua/wali, lingkungan masyarakat, sampai pada pemerintah selaku pengambil kebijakan.

Menurut Mendikbud Nadiem Makarim, setidaknya ada tiga dampak negatif ada pembelajaran jarak jauh (PJJ), yakni pertama ancaman putus sekolah karena anak harus bekerja. Risiko putus sekolah dikarenakan anak “terpaksa” bekerja untuk membantu keuangan keluarga di tengah krisis pandemi COVID-19. Kemudian, persepsi orang tua yang keliru akibat banyaknya orang tua yang tidak bisa melihat peranan sekolah dalam proses belajar mengajar jika proses pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka.

Kedua, Kendala tumbuh kembang, yang mengakibatkan :

  1. Kesenjangan capaian belajar seperti perbedaan akses dan kualitas selama pembelajaran jarak jauh dapat mengakibatkan kesenjangan capaian belajar, terutama untuk anak dari sosio-ekonomi berbeda.
  2. Ketidakoptimalan pertumbuhan akibat turunnya keikutsertaan dalam PAUD, sehingga anak-anak kehilangan tumbuh kembang yang optimal di usia emas.

Risiko ‘learning loss‘, yakni hilangnya pembelajaran secara berkepanjangan berisiko terhadap pembelajaran jangka panjang, baik kognitif maupun perkembangan karakter.

Ketiga, Tekanan psikososial dan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini menyebabkan

  1. Anak stres akibat minimnya interaksi dengan guru, teman, dan lingkungan luar ditambah tekanan akibat sulitnya pembelajaran jarak jauh dapat menyebabkan stres pada anak.
  2. Kekerasan yang tidak terdeteksi: akibat tanpa sekolah, banyak anak yang terjebak di kekerasan rumah tanpa terdeteksi oleh guru.

Karena itulah, untuk mengatasi kendala dan dampak negatif pembelajaran jarak jauh, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Akademik 2020/2021 Masa Pandemi COVID-19 pada 20 November 2020 lalu.

Melalui SKB 4 Menteri tersebut, ada tiga poin penting yang harus dipahami oleh stakeholder pendidikan, yakni: Pertama, keputusan untuk membuka sekolah harus mendapat persetujuan bukan hanya dari pemerintah daerah tetapi juga dari pihak sekolah dan komite sekolah yang merupakan perwakilan para orang tua murid. Kunci terdapat pada orang tua, yang mana jika komite sekolah tidak memperbolehkan dibukanya sekolah, maka sekolah tersebut tidak diperkenankan untuk dibuka.

Kedua, orang tua tidak harus khawatir kalau sekolah anaknya menyelenggarakan pembelajaran mulai tatap muka, sebab sekolah itu tidak bisa memaksa anak itu untuk pergi ke sekolah. “Orang tua bisa bilang, saya belum nyaman anak saya masuk ke sekolah dan dia bisa melanjutkan pembelajaran jarak jauh,” kata Mendikbud Nadiem Makarim (20/10).

Ketiga, sekolah yang dibuka akan membuat kebijakan yang berbeda dengan saat sebelum pandemi COVID-19. Jumlah Siswa yang hadir dalam satu sesi kelas hanya boleh 50 persen. Sekolah juga diminta untuk memberlakukan rotasi atau shift untuk mencegah penyebaran COVID-19 di lingkungan sekolah.

SKB 4 Menteri mempertegas kembali bahwa pembelajaran tatap muka diperbolehkan, tetapi tidak diwajibkan. Jadi, sekolah boleh buka di bulan Januari 2021 tapi tidak wajib. Tergantung dari situasi dan kondisi yang ada serta kesiapan pendidik, anak didik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat.

Pada akhirnya, jika sekolah memberlakukan sistem pembelajaran jarak jauh dan tatap muka, maka guru harus menggunakan metode pembelajaran blended-learning dengan mempertimbangkan karakteristik teknologi digital yang adaptif dan menawarkan fleksibilitas pada setiap personal untuk menyesuaikan kebutuhan belajarnya.

Menurut Diyan Nur Rakhmah (Republika, 30/11/2020), ada beberapa tantangan yang perlu diantisipasi agar blended-learning mampu mendorong efektivitas pembelajaran. Pertama, blended-learning seharusnya memungkinkan kemudahan akses dan fleksibilitas siswa dan guru dalam belajar.

Kedua, kombinasi luring dan daring harus mampu meningkatkan praktik belajar-mengajar dalam segala situasi dan kondisi. Sekolah harus tetap berorientasi pada pemenuhan hak belajar siswa, lebih fleksibel terhadap siswa dan guru, seperti kondisi kesehatan, kepemilikan akses dan perangkat digital, serta pertimbangan psikologis setiap personal dalam memandang pandemi.

Ketiga, pembelajaran masa depan harus mampu mengubah cara individu dalam belajar dan memaknai aktivitas belajar. Belajar tak sekadar membentuk pedagogi, psikomotorik, dan karakter siswa, tetapi media untuk lebih memaknai kehidupan yang sedang dijalani.

Apabila hal tersebut gagal dipenuhi, blended-learning justru berpotensi memperlebar kesenjangan belajar yang telah ada, khususnya bagi guru dan siswa yang tidak memiliki akses, perangkat, dan dukungan belajar memadai. Tantangan inilah yang harus dijawab. Semoga SKB 4 Menteri mampu mengoptimalkan pembelajaran di masa pandemi COVID-19 sekarang dengan baik.

 

Sumber : https://kumparan.com/t